BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sumberdaya
pesisir dan kelautan adalah asset yang penting bagi Indonesia. Dengan luas laut
5,8 juta Km2, Indonesia sesungguhnya memiliki sumberdaya perikanan laut yang
besar dan beragam. Potensi lestari sumberdaya perikanan laut di Indonesia
adalah 6,7 juta ton pertahun dari berbagai jenis ikan, udang dan cumi-cumi.
Apabila potensi ini diperkirakan kedalam nilai ekonomi berdasarkan harga satuan
komoditi perikanan, maka akan diperoleh nilai sebesar US $ 15 Miliar (Dahuri,
1996).
Jumlah
penduduk Indonesia sekitar 210 juta jiwa. Pada saat ini setidaknya terdapat 2
juta rumahtangga yang menggantungkan hidupnya pada sector perikanan. Dengan
asumsi tiap rumahtangga nelayan memiliki 6 jiwa maka sekurang-kurangnya
terdapat 12 juta jiwa yang menggantungkan hidupnya seharihari pada sumberdaya
laut termasuk pesisir. Mereka pada umumnya mendiami daerah kepulauan, sepanjang
pesisir termasuk danau dan sepanjang aliran sungai. Penduduk tersebut tidak
seluruhnya menggantungkan hidupnya dari kegiatan menangkap ikan akan tetapi
masih ada bidang-bidang lain seperti usaha pariwisata bahari, pengangkutan
antar pulau, danau dan penyeberangan, pedagang perantara atau eceran hasil
tangkapan nelayan, penjaga keamanan laut , penambangan lepas pantai dan
usaha-usaha lainnya yang berhubungan dengan laut dan pesisir.
Nelayan
merupakan salah satu bagian dari anggota masyarakat yang mempunyai tingkat
kesejahteraan paling rendah. Dengan kata lain, masyarakat nelayan adalah
masyarakat paling miskin dibanding anggota masyarakat subsisten lainnya
(Kusnadi, 2002). Suatu ironi bagi sebuah Negara Maritim seperti Indonesia bahwa
ditengah kekayaan laut yang begitu besar masyarakat nelayan merupakan golongan
masyarakat yang paling miskin.
Pemandangan
yang sering dijumpai di perkampungan nelayan adalah lingkungan hidup yang kumuh
serta rumah-rumah yang sangat sederhana. Kalaupun ada rumah-rumah yang
menunjukkan tanda-tanda kemakmuran (misalnya rumah yang megah dan berantena
parabola), rumah-rumah tersebut umumnya dipunyai oleh pemilik kapal, pemodal, atau
rentenir yang jumlahnya tidak signifikan dan sumbangannya kepada kesejahteraan
komunitas sangat tergantung kepada individu yang bersangkutan. Disamping itu,
karena lokasi geografisnya yang banyak berada di muara sungai, lingkungan
nelayan sering kali juga sudah sangat terpolusi.
Sejak
dahulu sampai sekarang nelayan telah hidup dalam suatu organisasi kerja secara
turun-temurun tidak mengalami perubahan yang berarti. Kelas pemilik sebagai
juragan relatif kesejahteraannya lebih baik karena menguasai faktor produksi
seperti kapal, mesin alat tangkap maupun faktor pendukungnya seperti es, garam
dan lainnya. Kelas lainnya yang merupakan mayoritas adalah pekerja atau
penerima upah dari pemilik faktor produksi dan kalaupun mereka mengusahakan
sendiri faktor atau alat produksinya masih sangat konvensional, sehingga
produktivitasnya tidak berkembang, kelompok inilah yang terus berhadapan dan
digeluti oleh kemiskinan (Pangemanan dkk, 2003). Rumahtangga nelayan pada
umumnya memiliki persoalan yang lebih komplek dibandingkan dengan rumahtangga
pertanian.
Kemiskinan
bukanlah masalah yang baru, namun pada akhir-akhir ini kembali muncul ke
permukaan sebagai akibat dari laju pertumbuhan ekonomi yang mendorong
terjadinya kesenjangan yang semakin melebar antara “si kaya” dan “si
miskin” (Hermanto, 1995). Problem kemiskinan merupakan suatu hal yang
tidak bisa terlepas dari pembangunan suatu bangsa. Kemiskinan merupakan side
effect dari lajunya pembangunan nasional tanpa ada maksud untuk menciptakannya
(Dahuri, 1994).
B.
Rumusan
Masalah
1. Pengertian tentang kemiskinan
nelayan didalam rumah tangga?
2. Faktor-faktor apa yang menyebabkan
kemiskinan pada masyarakat nelayan?
3. Bagaimana strategi rumahtangga
nelayan dalam berusaha mengatasi factor-faktor penyebab kemiskinan tersebut?
C.
Tujuan
1. Mahasiswa
dapat mengetahui factor-faktor kemiskinan nelayan.
2. Mahasiswa
dapat mengetahuipenyebab kemiskinan nelayan.
3. Mahasiswa
dapat mengidentifiksi usaha-usaha rumah tangga nelayan daam mengatasi
kemiskinan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kemiskinan Nelayan
Kemiskinan
secara umum dapat dibedakan dalam beberapa pengertian. Menurut Hermanto dkk.
(1995), kemiskinan dapat diartikan suatu keadaan dimana seseorang tidak dapat
memenuhi kebutuhan dasarnya, yaitu kebutuhan akan pangan. Sedangkan
Mangkuprawira (1993) menjelaskan bahwa kemiskinan sering disebut pula sebagai
ketidak berdayaan dalam pemenuhan kebutuhan pokok baik materi maupun bukan
materi. Materi dapat berupa pangan, pakaian, kesehatan dan papan. Sedangkan
bukan materi berbentuk kemerdekaan, kebebasan hak asasi, kasih sayang,
solidaritas, sikap hidup pesimistik, rasa syukur dan sebagainya.
Menurut
Setiadi (2006), kemiskinan merupakan masalah struktural dan multi dimensional,
yang mencakup politik, sosial, ekonomi, asset dan lain-lain. Dimensi-dimensi
kemiskinan pun muncul dalam berbagai bentuk, seperti (a) tidak dimilikinya
wadah organisasi yang mampu memperjuangkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat
miskin, sehingga mereka benar-benar tersingkir dari proses pengambilan
keputusan penting yang menyangkut diri mereka. Akibatnya, masyarakat miskin
tidak memiliki akses yang memadai ke berbagai sumberdaya kunci yang dibutuhkan
untuk penyelenggaraan hidup mereka secara layak, termasuk akses informasi. (b)
tidak terintegrasinya warga miskin ke dalam institusi sosial yang ada, sehingga
mereka teralinasi dari dinamika masyarakat; (c) rendahnya penghasilan sehingga
tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sampai batas yang layak dan
(d) rendahnya kepemilikan masyarakat miskin ke berbagai hal yang mampu menjadi
modal hidup mereka, termasuk asset kualitas sumberdaya manusia (human
capital), peralatan kerja, modal dana, perumahan, pemukiman dan sebagainya.
Ellis
(1983) dalam Darwin (2002), menyebutkan bahwa dimensi kemiskinan dapat
diidentifikasi menurut ekonomi, sosial, dan politik. Kemiskinan ekonomi adalah
kekurangan sumberdaya yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan
sekelompok orang. Kemiskinan ekonomi ini terbagi menjadi dua bagian yaitu
kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut adalah seseorang
tidak mampu memenuhi kebutuhan fisik minimum. Sedangkan kemiskinan relatif
adalah seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan sesuai dengan perkembangan
masyarakat saat itu.
Kemiskinan
sosial adalah kemiskinan akibat kekurangan jaringan social dan struktur yang
tidak mendukung untuk mendapatkan kesempatan-kesempatan agar produktivitas
seseorang meningkat. Penyebabnya antara lain karena factor internal yaitu
hambatan budaya sehingga disebut kemiskinan kultural. Sedangkan factor eksternal
diakibatkan oleh birokrasi dan peraturan resmi yang berakibat mencegah
seseorang untuk memanfaatkan kesempatan yang ada. Yang termasuk dalam
pengertian ini adalah kemiskinan struktural yaitu kemiskinan yang di derita
masyarakat karena struktur sosial masyarakat itu tidak dapat ikut menggunakan
sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka, seperti
kekurangan fasilitas pemukiman yang sehat, pendidikan, komunikasi, perlindungan
hukum dari pemerintah, dan lain-lain. Sedangkan kemiskinan politik adalah
kurangnya akses kekuasaan yang dapat menentukan alokasi sumberdaya untuk
kepentingan sekelompok orang atau sistem sosial.
Menurut
Soemardjan (1997), ditinjau dari sudut sosiologi kemiskinan dapat dilihat dari
pola-polanya, yaitu:
1. Kemiskinan Individual, kemiskinan
ini terjadi karena adanya kekurangankekurangan yang disandang oleh seorang
individu mengenai syarat-syarat yang diperlukan untuk mengentaskan dirinya dari
lembah kemiskinan. Mungkin individu itu sakit-sakitan saja, sehingga tidak dapat
bekerja yang memberi penghasilan. Mungkin juga ia tidak mempunyai modal
financial atau modal keterampilan (skill) untuk berusaha. Mungkin juga
ia tidak mempunyai jiwa usaha atau semangat juang untuk maju di dalam
kehidupan. Individu demikian itu dapat mederita hidup miskin dalam lingkungan
yang kaya. Namun bagaimanapun, kalau individu itu dikaruniai jiwa usaha yang
kuat atau semangat juang yang tinggi niscaya ia akan menemukan jalan untuk
memperbaiki taraf hidupnya.
2. Kemiskinan Relatif, untuk mengetahui
kemiskinan relatif ini perlu diadakan perbandingan antara taraf kekayaan
material dari keluarga-keluarga atau rumahtangga-rumahtangga di dalam suatu
komunitas tertentu. Dengan perbandingan itu dapat disusun pandangan masyarakat
mengenai mereka yang tergolong kaya dan relatif miskin di dalam komunitas
tersebut. Ukuran yang dipakai adalah ukuran pada masyarakat setempat (lokal).
Dengan demikian suatu keluarga yang di suatu daerah komunitas dianggap relative
miskin dapat saja termasuk golongan kaya apabila diukur dengan kriteria di
tempat lain yang secara keseluruhan dapat dianggap komunitas atau daerah yang
lebih miskin.
3. Kemiskinan Struktural, kemiskinan
ini dinamakan struktural karena disandang oleh suatu golongan yang ”built in”
atau menjadi bagian yang seolah-olah tetap dalam struktur suatu masyarakat. Di
dalam konsep kemiskinan struktural ada suatu golongan sosial yang menderita
kekurangan-kekurangan fasilitas, modal, sikap mental atau jiwa usaha yang
diperlukan untuk melepaskan diri dari ikatan kemiskinan. Salah satu contoh dari
golongan yang menderita kemiskinan struktural yaitu nelayan yang tidak memiliki
perahu. Di dalam golongan ini banyak terdapat orang-orang yang tidak mungkin
hidup wajar hanya dari penghasilan kerjanya, akibatnya mereka harus pinjam dan
selama hidup terbelit hutang yang tak kunjung lunas.
4. Kemiskinan Budaya, yaitu kemiskinan
yang diderita oleh suatu masyarakat di tengah-tengah lingkungan alam yang
mengandung cukup banyak sumberdaya yang dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki
taraf hidupnya. Kemiskinan ini disebabkan karena kebudayaan masyarakat tidak
memiliki ilmu pengetahuan, pengalaman, teknologi, jiwa usaha dan dorongan
social yang diperlukan untuk menggali kekayaan alam di lingkungannya dan
menggunakannya untuk keperluan masyarakat.
Lewis
(1966), memahami kemiskinan dan ciri-cirinya sebagai suatu kebudayaan, atau
lebih tepat sebagai suatu sub kebudayaan dengan struktur dan hakikatnya yang
tersendiri, yaitu sebagai suatu cara hidup yang diwarisi dari generasi ke
generasi melalui garis keluarga. Kebudayaan kemiskinan merupakan suatu adaptasi
atau penyesuaian, dan juga sekaligus merupakan reaksi kaum miskin terhadap
kedudukan marginal mereka di dalam masyarakat yang berstrata kelas, sangat
individualistis dan berciri kapitalisme. Kebudayaan tersebut mencerminkan suatu
upaya mengatasi rasa putus asa dan tanpa harapan, yang merupakan perwujudan
dari kesadaran bahwa mustahil dapat meraih sukses di dalam kehidupan sesuai
dengan nilai-nilai dan tujuan masyarakat yang lebih luas. Kurang efektifnya partisipasi
dan integrasi kaum miskin ke dalam lembaga-lembaga utama masyarakat, merupakan
salah satu ciri terpenting kebudayaan kemiskinan. Ini merupakan masalah yang
rumit dan merupakan akibat dari berbagai faktor termasuk langkanya
sumberdaya-sumberdaya ekonomi, segregasi dan diskriminasi, ketakutan,
kecurigaan atau apati, serta berkembangnya pemecahan-pemecahan masalah secara
setempat. Rendahnya upah, parahnya pengangguran dan setengah pengangguran
menjurus pada rendahnya pendapatan, langkanya harta milik yang berharga, tidak
adanya tabungan, tidak adanya persediaan makanan di rumah dan terbatasnya
jumlah uang tunai. Semua kondisi ini tidak memungkinkan adanya partisipasi yang
efektif di dalam sistem ekonomi yang lebih luas. Sebagai respon terhadapnya, kita
temui di dalam kebudayaan kemiskinan tingginya hal gadai menggadaikan
barang-barang pribadi, hidup dibelit hutang kepada lintah darat setempat dengan
bunga yang mencekik leher, munculnya sarana kredit informal yang secara spontan
diorganisasikan dalam ruang lingkup tetangga, penggunaan pakaian dan mebel
bekas, dan adanya pola untuk sering membeli dalam jumlah kecil-kecilan
sehari-harinya sesuai dengan tingkat kebutuhan yang diperlukan.
B. Faktor
Penyebab Kemiskinan Nelayan
Menurut
Pangemanan dkk. (2003), ada banyak penyebab terjadinya kemiskinan pada
masyarakat nelayan, seperti kurangnya akses kepada sumbersumber modal, akses
terhadap teknologi, akses terhadap pasar maupun rendahnya partisipasi
masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam. Selain itu dapat pula disebabkan
karena faktor-faktor sosial seperti pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi,
rendahnya tingkat pendidikan, dan rendahnya tingkat kesehatan serta
alasan-alasan lainnya seperti kurangnya prasarana umum di wilayah pesisir,
lemahnya perencanaan spasial yang mengakibatkan tumpang tindihnya beberapa
sektor pada satu kawasan, polusi dan kerusakan lingkungan.
Menurut
Kusnadi (2000), faktor-faktor yang menyebabkan semakin terpuruknya
kesejahteraan nelayan sangat kompleks, yaitu:
1. Faktor alam yang berkaitan dengan
fluktuasi musim ikan. Jika musim ikan atau ada potensi ikan yang relatif baik,
perolehan pendapatan bisa lebih terjamin, sedangkan pada saat tidak musim ikan
nelayan akan menghadapi kesulitan-kesulitan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari. Faktor alamiah ini selalu berulang setiap tahun.
2. Faktor non alam, yaitu faktor yang
berkaitan dengan ketimpangan dalam pranata bagi hasil, ketiadaan jaminan sosial
awak perahu, dan jaringan pemasaran ikan yang rawan terhadap fluktuasi harga,
keterbatasan teknologi pengolahan hasil ikan, dampak negatif modernisasi, serta
terbatasnya peluang-peluang kerja yang bisa di akses oleh rumahtangga nelayan.
Kondisi-kondisi aktual yang demikian dan pengaruh terhadap kelangkaan
sumberdaya akan senantiasa menghadapkan rumahtangga nelayan ke dalam jebakan
kekurangan.
Menurut
Suyanto (2003), faktor yang menyebabkan kondisi kesejahteraan nelayan tidak
pernah beranjak membaik, yaitu : Pertama, berkaitan dengan sifat hasil produksi
nelayan yang sering kali rentan waktu atau cepat busuk. Bagi nelayan
tradisional yang tidak memiliki dana dan kemampuan cukup untuk mengolah hasil
tangkapan mereka, maka satu-satunya jalan keluar untuk menyiasati kebutuhan
hidup adalah bagaimana mereka menjual secepat mungkin ikan hasil tangkapannya
ke pasar. Bagi nelayan miskin, persoalan yang paling penting adalah bagaimana
mereka bisa memperoleh uang dalam waktu cepat, meski seringkali kemudian mereka
harus rela menerima pembayaran yang kurang memuaskan dari para tengkulak terhadap
ikan hasil tangkapan mereka. Di komunitas nelayan manapun, jarang terjadi
nelayan bisa menang dalam tawarmenawar harga dengan tengkulak karena secara
struktural posisi nelayan selalu kalah akibat sifat hasil produksi mereka yang
sangat rentan waktu. Kedua, karena perangkap hutang. Akibat irama musim ikan
yang tidak menentu dan kondisi perairan yang overfishing, maka sering
terjadi keluarga nelayan miskin kemudian harus menjual sebagian atau bahkan
semua asset produksi yang mereka miliki untuk menutupi hutang dan kebutuhan
hidup sehari-hari yang tak kunjung usai.
C. Strategi Rumah Tangga Nelayan
Konsep
strategi dapat diartikan sebagai rencana yang cermat mengenai suatu kegiatan
untuk mencapai tujuan tertentu. Secara harfiah pengertian strategi adalah
berbagai kombinasi dari aktivitas dan pilihan-pilihan yang harus dilakukan
orang agar supaya dapat mencapai kebutuhan dan tujuan kehidupannya (Barret, et
all. dalam Aristiyani, 2001). Crow dalam Dharmawan (2003)
mengartikan strategi sebagai seperangkat pilihan diantara berbagai alternatif
yang ada. Konsep strategi ini merupakan bagian dari pilihan rasional, dimana
dalam teori tersebut dikatakan bahwa setiap pilihan yang dibuat individu,
termasuk pemilihan suatu strategi dibuat berdasarkan perimbangan rasional
dengan mempertimbangkan untung rugi yang akan diperoleh. Rumahtangga menunjuk
pada sekumpulan orang yang hidup satu atap, tetapi tidak selalu memiliki
hubungan darah. Setiap anggota dalam rumahtangga memiliki kesepakatan untuk
menggunakan sumber-sumber yang dimilikinya secara bersama-sama. Hal ini senada
dengan apa yang diungkapkan Manig dalam Dharmawan seperti dikutip
Lestari (2005), bahwa rumahtangga adalah grup dimana orang-orang tinggal bersama
dalam satu atap dan menggunakan dapur yang sama, berkontribusi dalam
pengumpulan pendapatan serta memanfaatkan pendapatan tersebut untuk kepentingan
bersama. Dalam rumahtangga, semua modal dan barang diatur oleh kepala
rumahtangga yang bertindak tanpa pamrih demi kepentingan bersama. Meskipun ada
pembagian pekerjaan yang berdasarkan jenis kelamin dan umur, namun, semuanya
bekerja untuk kepentingan bersama. Masing-masing anggota rumahtangga akan
berkontribusi sesuai dengan peran, tanggungjawab dan kemampuannya.
Menurut
Sitorus (1999) dalam Ihromi (1999), strategi ekonomi keluarga nelayan
miskin menunjuk pada alokasi potensi sumberdaya rumahtangga secara rasional
kedua sektor kegiatan sekaligus, yaitu sektor produksi dan sektor non produksi.
Di bidang produksi, rumahtangga nelayan miskin menerapkan pola nafkah ganda,
yaitu melibatkan sebanyak mungkin potensi tenaga kerja rumahtangga di berbagai
kegiatan ekonomi pertanian dan luar pertanian, baik dalam status berusaha
sendiri maupun status memburuh. Sektor non produksi atau lembaga kesejahteraan
asli merupakan bagian penting dalam strategi ekonomi rumahtangga nelayan
miskin. Sekalipun sifatnya tidak rutin, keterlibatan anggota rumahtangga di
lembaga kesejahteraan asli dapat memberikan manfaat ekonomi yang penting bagi
rumahtangga, secara langsung maupun tidak langsung. Penerimaan dari lembaga
arisan, memungkinkan rumahtangga nelayan miskin untuk dapat membiayai kebutuhan
yang memerlukan biaya cukup besar, antara lain perbaikan rumah, biaya sekolah
anak, pesta (ritus), dan modal usaha. Penerimaan tersebut tidak saja membantu
rumahtangga nelayan miskin dalam mengatasi konsekuensi kemiskinan (berupa
kekurangan konsumsi) tetapi pada tingkat tertentu juga dapat mengatasi penyebab
kemiskinan berupa kekurangan modal produksi.
Menurut
Kusnadi (2000), strategi nelayan dalam menghadapi kemiskinana dapat dilakukan
melalui:
1. Peranan Anggota Keluarga Nelayan
(istri dan anak). Kegiatan-kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh anggota
rumahtangga nelayan (istri dan anak) merupakan salah satu dari strategi
adaptasi yang harus ditempuh untuk menjaga kelangsungan hidup mereka.
2. Diversifikasi Pekerjaan Dalam
menghadapi ketidakpastian penghasilan, keluarga nelayan dapat melakukan
kombinasi pekerjaan.
3. Jaringan Sosial Melalui jaringan
sosial, individu-individu rumahtangga akan lebih efektif dan efisien untuk
mencapai atau memperoleh akses terhadap sumberdaya yang tersedia di
lingkungannya. Jaringan sosial memberikan rasa aman bagi rumahtangga nelayan
miskin dalam menghadapi setiap kesulitan hidup sehingga dapat mengarungi
kehidupan dengan baik. Jaringan sosial secara alamiah bisa ditemukan dalam
segala bentuk masyarakat dan manifestasi dari hakikat manusia sebagai makhluk
sosial. Tindakan sosial-budaya yang bersifat kreatif ini mencerminkan bahwa
tekanan tekanan atau kesulitankesulitan ekonomi yang di hadapi nelayan tidak
direspon dengan sikap yang pasrah. Secara umum, bagi rumahtangga nelayan yang
pendapatan setiap harinya bergantung sepenuhnya pada penghasilan melaut,
jaringan social berfungsi sangat strategis dalam menjaga kelangsungan kehidupan
mereka.
4. Migrasi, ini dilakukan ketika di
daerah nelayan tertentu tidak sedang musim ikan dan nelayan pergi untuk
bergabung dengan unit penangkapan ikan yang ada di daerah tujuan yang sedang
musim ikan. Maksud migrasi adalah untuk memperoleh penghasilan yang tinggi dan
agar kebutuhan hidup keluarga terjamin.
Dalam
waktu-waktu tertentu, penghasilan yang telah diperoleh, mereka bawa pulang
kampung untuk diserahkan kepada keluarganya, tetapi kadang kala penghasilan itu
dititipkan kepada teman-temannya yang sedang pulang kampung. Apabila di
daerahnya sendiri telah musim ikan, atau keadaan hasil tangkapan nelayan
setempat mulai membaik, merekapun akan kembali ke kampung halaman dan mencari
ikan didaerah asalnya.
BAB
III
PENUTUP
A.
Simpulan
1. Kemiskinan dapat diidentifikasi
menurut ekonomi, sosial, dan politik. Kemiskinan ekonomi adalah kekurangan
sumberdaya yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan sekelompok
orang. Kemiskinan ekonomi ini terbagi menjadi dua bagian yaitu kemiskinan
absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut adalah seseorang tidak mampu
memenuhi kebutuhan fisik minimum. Sedangkan kemiskinan relatif adalah seseorang
tidak mampu memenuhi kebutuhan sesuai dengan perkembangan masyarakat saat itu.
2. Faktor yang menyebabkan kondisi
kesejahteraan nelayan tidak pernah beranjak membaik, yaitu: Berkaitan dengan
sifat hasil produksi nelayan yang sering kali rentan waktu atau cepat busuk.
Bagi nelayan tradisional yang tidak memiliki dana dan kemampuan cukup untuk
mengolah hasil tangkapan mereka, maka satu-satunya jalan keluar untuk
menyiasati kebutuhan hidup adalah bagaimana mereka menjual secepat mungkin ikan
hasil tangkapannya ke pasar.
3. strategi ekonomi keluarga nelayan
miskin menunjuk pada alokasi potensi sumberdaya rumahtangga secara rasional
kedua sektor kegiatan sekaligus, yaitu sektor produksi dan sektor non produksi.
Di bidang produksi, rumahtangga nelayan miskin menerapkan pola nafkah ganda,
yaitu melibatkan sebanyak mungkin potensi tenaga kerja rumahtangga di berbagai
kegiatan ekonomi pertanian dan luar pertanian, baik dalam status berusaha
sendiri maupun status memburuh. Sektor non produksi atau lembaga kesejahteraan
asli merupakan bagian penting dalam strategi ekonomi rumahtangga nelayan miskin
B. Saran
Saran untuk makalah ini agar para pembaca dapat
bermanfaat dan menambah ilmu pengetahuan.